Minggu, 12 Juni 2011

UTS Teknik Komunikasi

UTS tekkom kali ini presentasi di depan teman-teman sekelompok, kelompok saya ngambil tema "WISATA BUDAYA NUSANTARA" naaah... berhubung saya dari aceh, jadi saya milih sub tema nya RUMOH ACEH.

nih ada artikelnya, selamat membaca

Rumoh Aceh: Aset Wisata Budaya yang Kian Hilang
        
 
Setiap komunitas di Indonesia mempunyai rumah yang menjadi tempat tinggalnya. Rumah ini seringkali berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Rumah ini seringkali jadi suatu yang “unik” bagi komunitas lainnya dan menjadi suatu yang khas bagi komunitas itu. Salah satu komunitas yang mempunyai rumah cukup unik adalah masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh mempunyai rumah yang khas yang membedakan dengan masyarakat lain di Indonesia, yaitu Rumoh Aceh. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi antara 2,5-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang. Walaupun rumah-rumah Aceh berupa rumah panggung, tetapi rumah ini tidak sekedar sebagai hunian semata, tetapi juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Sesuai dengan konsep wisata yang “back to nature”, rumoh Aceh merupakan sebuah aset yang cukup potensial sebagai salah satu objek wisata.
Rumoh Aceh secara tradisional terdiri dari tiga atau lima ruang dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumah dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedang rumah dengan lima ruang memiliki 24 tiang.

Bagian-bagian Rumoh Aceh
a.       Bagian bawah
Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing, dan untuk mengantisipasi banjir serta ancaman binatang buas. Tempat ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh. Tempat ini juga digunakan untuk menyimpan jeungki atau penumbuk padi.

       Bagian tengah
Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini terdapat tiga ruangan, yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

c.       Bagian atas
Bagian ini terletak di bagian atas serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang berfungsi untk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.


Tata letak rumah Aceh selalu berorientasi dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Hal ini terkait dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Penambahan rumang selalu dilakukan di sisi utara atau selatan. Salah satu yang unik dari rumah Aceh adalah pintu masuk yang selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu tersebut hanya 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke rumah Aceh harus menunduk bagi mereka yang mempunyai ketinggian lebih dari 150 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tidak peduli betapa tinggi kedudukan atau derajat pengunjung/tamu, mereka harus menunduk (tanda hormat setiap masuk ke rumah Aceh).
Walaupun demikian begitu masuk kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tidak perabot yang “memakan” ruang, seperti kursi atau meja. Semua tamu duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa yang dilapisi tikar pandan). Kondisi demikian seringkali merupakan simbolisasi dari penerimaan orang Aceh terhadap orang luar. Sulit memasukinya, tetapi ketika kita berhasil masuk, maka kita akan diterima dengan lapang dada dan hangat. Dalam membangun rumah, masyarakat Aceh mempunyai adat tertentu. Ia harus dibangun pada hari tepat, yang ditentukan oleh teungku (ulama). Diadakannya kenduri, berupa upacara peusijuk, sejak tiang rumah dipancangkan.
Rumah Aceh sebagian besar dibangun dari bahan kayu. Kayu ini merupakan kayu pilihan sehingga seringkali rumah Aceh dapat bertahan hingga puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Semua tiang utama dibuat dari kayu bulat pilihan, dinding dan lantai rumah terbuat dari kayu juga, atap rumah dari daun rumbia atau daun pohon sagu. Kayu disambungkan tanpa menggunakan paku.

Kian Hilang
Keberadaan rumah Aceh saat ini mulai kian hilang. Walaupun ia memiliki kearifan lokal yang cukup tinggi, tetapi kemajuan zaman telah mengikis keberadaan rumah Aceh ini. Masyarakat mulai cenderung membangun rumah dari batu bata dengan berbagai bentuk. Walaupun belum ada survei tentang keberadaan rumah Aceh ini mulai kian hilang. Rumah-rumah Aceh masih dapat ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Di Banda Aceh sendiri rumah Aceh semakin banyak berkurang, apalagi di beberapa kawasan pantai, seperti di pantai Lhok Nga, Lampuuk, Ulee Lheu, Lambung dan sebagainya yang dulunya banyak ditemui rumah Aceh menjadi hilang diterjang gelombang tsunami.

Kian hilangnya rumah Aceh tentu sangat memprihatinkan. Hal ini berarti mengurangi aset wisata yang cukup potensial. Kearifan lokal yang dipunyai oleh komunitas masyarakat Aceh semakin tergerus. Amat disayangkan apabila rumah Aceh suatu saat hilang dari bumi ureung Aceh. Tertinggal hanya di Museum (Di Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat sebuah rumoh Aceh).
Mengantisipasi kian hilangnya rumah Aceh ini, pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca gempa dan tsunami beberapa masyarakat di beberapa daerah (misalnya di Kampung Jawa Banda Aceh) bersama lembaga nonpemerintan membangun rumah Aceh yang telah dimodifikasi. Mereka memodifikasi prinsip rumah panggung dari arsitektur lokal rumah Aceh dalam desain rumah bantuan panggung yang terdiri dari dua lantai dengan bahan dari beton dan kayu. Warga korban tsunami juga banyak memodifikasi bagian bawah rumah untuk berbagai fungsi, seperti warung atau kios.

referensi : agusbwaceh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar